Feeds:
Posts
Comments

Rocky Permata

1. Grand Theory

Grand theory adalah setiap teori yang dicoba dari penjelasan keseluruhan dari kehidupan sosial, sejarah, atau pengalaman manusia. Pada dasarnya berlawanan dengan empirisme, positivisme atau pandangan bahwa pengertian hanya mungkin dilakukan dengan mempelajari fakta-fakta, masyarakat dan fenomena. Bersumber dari: Quentin Skinner, ed., The Return of Grand Theory in the Human Sciences (Cambridge, 1985)

Grand theory, istilah yang diciptakan oleh C. Wright Mills dalam ‘The sociological imagination (1959)’ yang berkenaan dengan bentuk abstrak tertinggi suatu peneorian yang tersusunan atas konsep-konsep yang diprioritaskan atas dapat mengerti dunia sosial.

Grand Theory  menekankan pada konsep keseimbangan, pengambilan keputusan, sistem dan bentuk komunikasi sebagai sarana dasar perangkat pengatur (central organizing devices) untuk mengkaji hubungan internasional.

Peletak dasar utama grand theory dalam politik internasional , adalah Hans. J. Morgenthau melalui buku klasiknya “Politics Among Nations”(1948). Morgenthau menunjukan dan membuktikan bahwa berbagai data politik internasional bisa dipadukan dalam model power politics.sumbangan pemikirannya bagi studi hubungan internasional menunjukan bahwa:

  1. Bidang studi hubungan internasional harus mencoba menyusun generalisasi, dan tidak terpaku pada peristiwa yang unik.
  2. Hubungan internasional pada hakekatnya menunjukan pola perilaku yang selalu berulang .
  3. Pokok bahasan (core subjects) dikaji untuk menelusuri sumber perilaku negara dalam mendapatkan power serta menetapkan pola hubungan tertentu seperti pertimbangan kekuatan.

Dari referensi yang tersedia, menurut hemat saya, Grand theory adalah teori keseluruhan atau yang  secara garis besar berusaha menjelaskan suatu permasalahan atau kasus.

 

2. Middle-Range Theory

Middle-range theory dikemukakan oleh sosiolog amerika Robert Merton dalam ‘Social theory and social Structure’ (1957) untuk menghubungkan pemisah diantara hipotesis-hipotesis terbatas dari studi empirisme dan teori-teori besar yang abstrak yang diciptakan Talcott Parson. Dia menjelaskan middle-range theory sebagai teori yang berbohong diantara minor-minor tapi diperlukan hipotesis yang berkembang dalam keadaan yang berlimpah dalam penelitian selama berhari-hari hingga diperlukan usaha-usaha sistematis untuk mengembangkan teori gabungan yang akan menjelaskan seluruh penelitian yang seragam dari perilaku sosial, organisasi dan perubahan sosial. Banyak konsep tang dikembangkan dari mid-range theories telah menjadi bagian dari kosakata dasar sosiologi : retreatisme, ritualisme, manifest dan latent functions, opportunity structure, paradigma, reference group, role-sets, self-fulfilling propechy dan unintended concequence. Pemikira middle-range theory secara langsung maupun tidak langsung memengaruhi pandangan  sosiolog atas pekerjaan mereka.

Teori ini dipergunakan sebagai hipotesis yang patut diuji, bukan  sebagai perangkat pengatur studi hubungan internasional. Objek yang ditelusuri jauh diluar bidang perhatian kelompok tradisional, perhatian lebih jauh ditujukan pada hukum internasional, organisasi internasional, serta peristiwa yang sedang berlangsung.

Mid-range theory disepakati sebagai suatu bidang yang relatif luas dari suatu fenomena, tapi tidak membahas keseluruhan fenomena dan sangat memperhatikan kedisiplinan (Chinn and Kramer, 1995, p 216).

Beberapa mid-range theories didasari oleh grand theories. Hal ini ditegaskan pernyataan Smith (1994), bahwa fungsi utama grand theories adalah sebagai sumber utama yang selanjutnya akan dikembangkan oleh middle-range theories

Menurut saya sendiri, Middle-range theory itu sendiri adalah pembahasan yang lebih fokus dan mendetail atas suatu grand theory.

Beberapa dari peneliti teori ini membuktikan bahwa maksud utama analisis ilmiah tidak hanya menjelaskan masalah, tetapi mampu memprediksi atau meramalkan sesuatu. Mereka menyatakan bahwa ramalan yang dapat dipercaya bisa dibuat jika nariabel utama yang memperngaruhi perilaku politik telah diidentifikasikan dan hubungan antara variabel lain telah ditetapkan. Dengan kata lain mereka meramalkan sekelompok kejadian berdasarkan variabel yang telah diidentifikasi dan ditetapkan; mereka tidak akan melakukan ramalan jika hanya ditopang oleh satu kejadian khusus.

 

 

 

Sumber-sumber:

Sumber: Yusran Darmawan

Kemunculan mazhab Frankfurt bisa diteropong dari realitas masa ketika sains mulai menakutkan dalam kehidupan manusia. Bagi mazhab Frankfurt, logos telah mengubah wataknya dari protagonis ke antagonis. Senjata nuklir menjadi mitos baru yang menakutkan. Dengan teori kritiknya, mazhab Frankfurt, melakukan pertautan teori dengan praksis sosial manusia. Pengetahuan manusia dan ekistensinya merupakan hal yang tak terpisah pada realitas eksistensi eksternal. Antara pengetahuan manusia dengan segala motif yang menyertainya merupakan konsekuensi logis yang mustahil terberi. Problem motivasi apa yang ada pada pengetahuan setiap manusia, itulah yang mestinya dicurigai, sebab perdebatan apakah pengetahuan itu bebas nilai atau tidak, merupakan perdebatan yang menghabiskan waktu.

Adalah Jurgen Habermas, salah seorang tokoh terkemuka Mazhab Frankfurt, yang kemudian mencoba meretas kebuntuan teori kritis pendahulunya. Dari sejumlah penelitian dan perhatiannya terhadap komunikasi, ia kemudian menemukan solusi atas kesalahan pendahulunya dalam menggagas teori kritik masyarakat. Karenanya, ia dikenal sebagai pembaharu teori kritis. Sebab ia tidak sekedar merefleksikan kesalahan epistemologis pendahulunya yang mengantarkan mereka ke jalan buntu dalam bentuk penilaian. Malah Habermas, menyuburkan kembali khasanah teori kritis dengan sebuah paradigma baru. Rasio instrumental yang menjadi bagian dari teori kritis mashab Frankfurt, digesernya ke dalam apa yang ia sebut sebagai rasio komunikatif.

Habermas, memusatkan diri pada pengembangan piranti teori komunikasi dengan mengintegrasikan linguistic-analysis dalam teori kritisnya. Teori kritis Habermas kemudian diperkenalkan dengan nama The Theory of Communicative Action. Teori Tindakan Komunikatif yang di gagasnya, menandai usaha brilian untuk mendialogkan teori kritisnya dengan tradisi-tradisi besar ilmu-ilmu sosial modern.Dasarnya adalah distingsi tentang praksis. Praksis tidak hanya dipahami sebagai arbeit melainkan juga sebagai komunikasi. Praksis, dilandasi kesadaran rasional, rasio tidak hanya tampak dalam kegiatan menaklukkan alam dengan kerja, melainkan juga dalam interaksi intersubjektif dengan bahasa keseharian. Praksis merupakan konsep sentral dalam tradisi filsafat kritis. Praksis bukanlah tingkah-laku buta atas naluri belaka, melainkan tindakan dasar manusia sebagai makhluk sosial. Praksis merupakan hal yang tak terpisahkan dengan teori. Sehingga pembahasan praksis dalam teori Habermas, merupakan upaya untuk mempertautkan teori dengan praktik yang telah dipisahkan oleh bangunan positivistik atas nama pemurnian pengetahuan, paham kebebasan nilai ilmu-ilmu sosial, sebagai efek dari duel peradaban anatar logos dan mitos. Ruh dari teori tindakan komunikatif Habermas, merupakan cita suci pencapaian konsesnsus melalui komunikasi bebas dominatif, di mana pelaku komunikasi berada pada ruang subyek dan memposisikan apa yang dikomunikasikan sebagai obyek. Pelaku komunikasi mesti berada pada titik kesetaraan sebagai hal yang niscaya, sebab makna sebuah teks mesti dipahami tanpa paksaan.

Bagi Habermas, teori Kritis merupakan suatu metodologi yang berdiri pada ketegangan dialektis antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Teori Kritis hendak menembus realitas sosial sebagai fakta sosiologis, untuk menemukan kondisi yang bersifat transendental yang melampaui data empiris. Dengan demikian, Teori Kritis merupakan dialektika antara pengetahuan yang bersifat transendental dan yang bersifat empiris. Ini sekaligus sebagai penegasan tentang negasi ahistoritas ilmu pengetahuan yang dilancarkan saintisme atau positivisme sebagai serangan terhadap teori kritis. Sebab ilmu pengetahuan yang dipahaminya tidak menafikkan data pengalaman empiris. Teori kritis bermaksud membebaskan pengetahuan manuisa, bila terjatuh dan membeku pada salah satu ranah, entah transendental ataukah empirisme. Sebuah refleksi diri, ideologiekritik. Sebuah kritik ideologi.

Meskipun istilah wacana (discourse) sering dianggap sebagai sesuatu yang sederhana namun pada kenyataannya istilah ini cukup kompleks. Wacana (diskursus) merupakan wilayah kajian bahasa namun ia juga berkaitan langsung dengan praktek sosial dan kehidupan sehari-hari. Dalam konteks bahasa, wacana didefenisikan sebagai cara tertentu dalam berbicara, menulis dan berpikir. Wacana adalah cara tertentu dalam menggunakan bahasa. Akan tetapi, wacana tidak hanya merupakan cara berbahasa, namun lebih penting lagi, ia berkaitan secara langsung dengan praktek berbahasa tersebut, dan relasi sosial dibelakang praktek tersebut. Sebagai satu bentuk praktek, wacana berkaitan dengan ‘sejarah’ dan ‘waktu’. Wacana berkaitan dengan penggunaan bahasa di dalam zaman, waktu dan tempat tertentu. Sebagai salah satu konsep penting dalam filsafat ‘post-strukturalisme’, wacana melihat pentingnya kajian tentang ‘sejarah’ dan ‘waktu’ di dalam perbincangan tentang bahasa prakteknya. Ini bertentangan dengan pandangan strukturalisme yang justru menolaknya karena mementingkan ‘struktur’ yang melampaui kawasan sejarah.

Sumber: Yusran Darmawan

Salah satu perspektif yang momotret perkembangan masyarakat dan budaya modern secara kritis adalah kajian komunikasi yang bersumber dari ajaran Karl Marx (1818-1883), yang kemudian disebut Marxisme.Dalam perkembangannya, Marxisme diadopsi oleh beberapa kelompok intelektual untuk menganalis masyararakat kapitalis modern. Maka muncullah beberapa perspektif kritis dalam kajian komunikasi, diantaranya; teori ekonomi politik media, mazhab Frankfurt, hegemoni, dan cultural studies. Perspektif tersebut ada yang berada dalam tradisi marxis-materialis yang menekankan faktor ekonomi dan ada juga yang berusaha menjelaskan selubung ideologi (superstruktur) dalam komunikasi.Marxisme –kata ini dipopulerkan Friedrich Engels (1820-1895) rekan Karl Marx– sebenarnya mengandung interpretasi yang sangat luas. Hal ini disebabkan karena Marxisme selain merujuk langsung kepada pemikiran Karl Marx sendiri, juga karena Marxisme pada perkembangannya telah menjadi payung sekaligus identitas bagi sederet dinamika pemikiran kritis yang berada di bawah pengaruh Karl Marx. Menurut Franz Magnis Suseso Marxisme adalah ideologi atau teori tentang ekonomi dan masyarakat yang memuat apa yang dalam perlbagai aliran yang bernaung di bawahnya dianggap sebagai ajaran resmi dan definitif Marx. Maka Marxisme lebih sempit dari ajaran Marx. Dalam catatan Everet M. Rogers, sebagaimana dikutip Stephen W. Littlejohn dalam Theories of Human Communication, pada abad ke-20 ajaran Karl Marx telah memengaruhi hampir semua cabang ilmu sosial, meliputi sosiologi, pilitik, ekonomi, sejarah, filsafat dan termasuk di dalamnya ilmu komunikasi. Pengaruh Marx dalam kajian komunikasi terutama bersumber dari analisisnya mengenai industri kapitalis dimana terjadi pertentangan antara kaum proletar dan buruh. (Littlejohn, 2001:210)Secara teoritits salah satu ajaran Karl Marx menjelaskan relasi antara basis dan superstruktur (base-superstructure) dalam masyarakat. Basis material dari kegiatan manusia menurut Karl Marx yaitu ekonomi atau kerja. Sementara superstruktur kesadarannya berupa ideologi, ilmu, filsafat, hukum, filsafat, plitik, dan seni. Di antara dua entitas tersebut yang dominan dan menentukan adalah basisnya. Maka basislah yang menentukan superstruktur. Dalam bahasa lain, basis sebagai sebuah realitas menentukan kesadaran manusia. Dengan demikian perbedaan cara produksi niscaya menghasilkan perbedaan kesadaran. (Budi Hardiman, 2004: 241).Karl Marx melihat dalam masyarakat kapitalis dimana hak milik atas alat-alat produksi dikuasai oleh beberapa gelintir orang saja (kaum borjuis) terjadi dominasi kaum borjuis atas kaum proletar. Dalam kondisi inilah terjadi penghisapan manusia atas manusia lainnya. Individu-individu yang tertindas itu akhirnya merasakan keterasingan karena tidak memiliki hak milik atas barang. Bahkan menurut Marx individu bukan saja terasing dari lingkungannnya tapi juga dari barang yang diciptakannya. (McLelland, 1977: 78).Mengikuti alur pemikiran di atas, maka jika diandaikan dalam komunikasi dapat digambarkan bahwa media massa sebagai industri informasi yang hanya dikuasai oleh segelintir orang (pengusaha media massa) yang memiliki kepentingan ideologis, mengeksploitasi para pekerja media untuk menghasilkan informasi sesuai dengan ideologi pemiliknya. Maka para pekerja media kemudian akan terasing karena ia tidak memiliki atau hanya mendapatkan sedikit keuntungan dari industri tersebut. Selanjutnya masyarakat atau komunikan mau tidak mau mengkonsumsi media massa dan mereka hanya menjadi pembaca, pendengar atau penonton yang pasif sehingga ideologi yang dibawa oleh media merasuki masyarakat, dan masyarakat bertindak sesuai dengan apa yang digambarkan atau dicontohkan oleh media massa. Pada titik ini media sebagai realitas menentukan kesadaran masyarakat. Dan kesadaran yang dihasilkan oleh media massa adalah kesadaran palsu (false conciousness).Terkait dengan kajian komunikasi, khususnya kajian media, secara historis, pada zamannya, sebenarnya Marx belum menyaksikan media massa yang pengaruh dan dominasinya begitu kuat seperti yang terjadi pada masyarakat modern. Meski demikian bukanlah mustahil jika melalui teorinya dapat dilakukan penelitian secara kritis terhadap media massa. Dalam perspektif Marxian media massa dipandang sebagai alat produksi yang disesuaikan dengan tipe umum industri kapitalis beserta faktor produksi dan hubungan produksinya. (McQuail, 1987: 63).Media sebagaimana telah dijelaskan di atas, cenderung dimonopoli oleh oleh kelas kapitalis untuk memenuhi kepentingan dan ideologi mereka. Mereka melakukan eksploitasi pekerja budaya dan konsumen secara material demi memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Untuk mempertahankan kedudukannya, mereka melarang adanya ideologi lain yang akan mengganggu kepentingannya. Contoh yang mudah adalah keluar/dikeluarkannya Sandrina Malakiano dari Metro TV karena mengenakan jilbab. Mobilisasi kesadaran semacam itu dihindari oleh kaum kapitalis, karena itu mereka menerapkan kebijakan yang ketat dan terorganisir secara rapi. Dalam kerangka pikir ini, media massa sebagai alat dari kelas yang dominan untuk mempertahankan status quo yang dipegangnya dan sebagai sarana kelas pemilik modal berusaha melipatgandakan modalnya. Media yang cenderung menyebarkan ideologi dari kelas yang berkuasa akan menekan kelas-kelas tertentu. Sebagaimana dikatakan oleh Marx dan Engels :The ideas of the ruling class are in every epoch the ruling ideas, i.e. the class which is the ruling material force of society, is at the same time its ruling intellectual force. The class which has the means of material production at its disposal, has control at the same time over the means of mental production, so that thereby, generally speaking, the ideas who lack the means of mental production aresubject of it (Marx and Engels dalam Storey [ed],1995 : 196).Pandangan yang dijelaskan di atas terkesan mereduksi segala sebab persoalan kepada masalah ekonomi. Pandangan ini sering disebut ekonomisme. Ekonomisme sendiri memang kata kunci yang penting untuk memahami Marxisme ortodoks. Dalam ekonomisme basis ekonomi masyarakatlah yang menentukan segala hal dalam superstruktur kesadaran masyarakat seperti sosial, politik dan kesadaran itelektual. Ekonomisme terkait dengan determinisme teknologi. Marx sering menginterpretasikan bahwa penguasaan terhadap teknologi berarti menguasai ekonomi dan karena itu bisa mendeterminasi kesadaran masyarakat.(DanielChandler, http://www.aber.ac.uk, 1994)Pada perkembangannya pandangan ini mendapat kritik dari Lois Althusser. Marxis Althusserian memandang praktek ideologi dalam media massa relatif otonom dari determinasi ekonomi (lih. Stevenson 1995: 15-16). Menurutnya yang lebih dominant adalah ideologi itu sendiri, bentuk ekspresi, cara penerapan dan mekanisme dijalankannya untuk mempertahankan dan mengembangkan diri melalui kepatuhan para korban dan membentuk alam pikiran mereka. (McQuail, 1987: 63).Tradisi pemikiran itulah yang akhirnya diambil oleh Struart Hall dan kawan-kawannya dalam kajian kultural studies. Mereka menolak formulasi basis dan superstruktur karena ada dialektika antara realitas sosial dengan kesadaran sosial. (DanielChandler, http://www.aber.ac.uk, 1994) Demikianlah segelintir gagasan tentang perspektif Marxisme dalam kajian komunikasi.

Daftar Pustaka

Buku :Hardiman, Budi, Filsafat Modern Dari Machiavelli Sampai Noetzsche, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004

Hardiman, Budi, Menuju Masyarakat Komunikatif, Kanisius, Yogyakarta, 1993

Magnis Suseno, Franz, Pemikiran Karl Marx; dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.McLelland,

David, Karl Marx Selected Writings, Oxford University Press, Oxfrod, 1977.

Yusuf Lubis, Akhyar, Dekonstruksi Epistemologi Modern; Dari Postmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme hingga Cultural Studies, Pustaka Indonesia Satu, Jakarta, 2006.

Adorno, T.W dan Max Hokheimer, Dialectic of Enlightment, Allen, Lane, London, 1973.

Mc Quail, Dennis, Teori Komunikasi Massa (terj), Penerbit Airlangga, Jakarta, 1986

Littlejohn, Stephen W, Theories of Human Communication, 7th Edition. Wadsworth Publising Company, Belmont, 2001.

Sumber: Ahmad Kurnia Spd MM

Pendahuluan
            Sebagai orang yang mempelajari ilmu komunikasi, perkembangan di dalam rumpun bidang keilmuan ini dapat diamati salah satunya melalui perkembangan teori teori komunikasi yang ada di dalamnya.
            Salah satu yang menarik perhatian adalah seorang ilmuwan komunikasi Stephen W. Littlejohn. Beliau adalah salah satu ilmuwan yang paling produktif dalam pengembangan ilmu komunikasi. Buku hasil karyanya Theories of Human Communication sudah diterbitkan dalam 10 edisi (edisi terakhir tahun 2011) yang setiap  edisinya menambahkan perkembangan teori komunikasi baru. Belum lagi buku buku lain yang mengimbangi buku utama ini.
            Perubahan besar terjadi dalam Edisi 8 (2005) buku Littlejohn tentang Theories of Human Communication, dia merubah secara keseluruhan struktur berpikirnya yang telah dituangkan dalam 7 edisi sebelumnya. Perombakan besar-besaran dalam keseluruhan struktur dan isi teori yang telah dikembangkan. Jika sebelum Edisi 8 Littlejohn selalu menekankan bahwa teori komunikasi harus dilihat berdasarkan level komunikasinya, maka dalam Edisi 8 ini semua ditinggalkan. Dapat disimpulkan pasti ada sesuatu pergulatan besar dalam diri seorang Littlejohn sehingga merubah pola pikir yang sudah dibangunnya dalam tataran dunia teori komunikasi.
            Ilmuwan lain yang juga mengalami hal yang sama seperti apa yang dilakukan oleh Littlejohn adalah EM Griffin, seorang profesor emeritus komunikasi dari Wheaton College, Illinois. Beliau juga merubah (ini dikatakannya sebagai major changes) tatanan bangunan teori dalam bukunya A First Look at Communication Theory mulai Edisi 4 (2000) dari bukunya hingga Edisi 7 terbitan tahun 2009.
            Yang menjadi pertanyaan kemudian bagi mereka yang mempelajari ilmu komunikasi adalah: Apa yang menyebabkan kedua ilwuwan komunikasi ini sampai merubah pola berpikir mereka tentang tatanan teori yang telah mereka bangun dan kembangkan selama ini?  Keyakinan-keyakinan ilmiah macam apa yang memberikan kebenaran pada mereka untuk melakukan perombakan besar-besaran bagi tataran keilmuan yang  mereka kembangkan. Apa konsekuensinya bagi kita sebagai pembaca atau reader dari buku-buku mereka ini ?
Akar Masalah: Komunikasi sebagai Multidisiplin.
            Perdebatan panjang bahwa studi komunikasi memiliki sifat multidisiplin di awal perkembangan ilmu komunikasi sangat disadari bahkan memperoleh keyakinan dan dukungan di antara ilmuwan komunikasi sendiri.  Ilmu komunikasi adalah ilmu yang bersifat multidisiplin. Dalam buku Frank E.X Dance berjudul Human Communication Theory: Comparataive Essays (1982),  Littlejohn sangat meyakini bahwa studi komunikasi adalah studi yang interdisiplin atau multidisiplin. Dia mengatakan, “The study of communication constitutes an interdiscipline, in which communication process are inverstigated using insight from several traditional discipline (Littlejohn, 1982: 244).
Dia menjelaskan bahwa kajian komunikasi merupakan pertemuan pucuk-pucuk dari disiplin ilmu murni sosiologi, antropologi, psikologi dan filsafat (Ibid.: 245). Masih menurutnya bahwa sifat multidisiplin ini memiliki keuntungan karena dapat menjelaskan kegiatan scope kajian tentang komunikasi menjadi sangat luas. Tidak ada single teori, bahkan dengan cara seperti ini justru dapat menggambarkan suatu proses komunikasi yang komprehensif (Ibid.: 245).
            Dengan berjalannya waktu dibagian lain bukunya yaitu Theories of Human Communication Edisi 2 (1983), Littlejohn  mulai melihat memang ada celah lemah dengan sifat multidisiplin dari kajian komunikasi. Dia menuliskan antara lain:
Although scholars from a number of disicipline share an interest in communication, the scholar’s first loyalty is usually to general concepts of the discipline itself. Communication is generally considered subordinate. For example, psychologist study individual behavior and view communication as a particular kind of behavior. Sociologist focus on society and social process, seeing communication as one of several social factors. Anthropologist are interested primarily in culture, and if they investigate communication they treat it as an aspect of broader themes (Ibid., 1983: 5)
            Littlejohn mulai galau dengan sifat multidisiplin kajian komunikasi ketika dia menyadari akhirnya para ilmuwan yang berasal dari berbagai disiplin ilmu yang ada, yang memberi perhatian pada kajian komunikasi, hanya menganggap kajian komunikasi ini bukanlah kajian utama mereka. Kajian komunikasi hanya merupakan bagian kecil saja dari interest mereka sebagai suatu ilmuwan dari disiplin tertentu. Littlejohn sangat merasakan kajian komunikasi hanya menjadi kajian yang punya posisi subordinat dari kajian ilmu-ilmu yang masuk ke dalamnya.
Kegalauan tentang multidisiplin kajian komunikasi ini juga dirasakan oleh E.M Griffin. Dalam bukunya A First Look at Communication Theory  Edisi 4 (tahun 2000) dia mulai menyadari tentang keterbatasan dalam mengkaji teori komunikasi karena sifat multidisiplin ini. Griffin mengatakan bahwa, “there’s little dicipline in our discipline” (2000: 34). Hal ini terjadi karena menurutnya ilmuwan komunikasi itu memiliki pandangan yang divergen tentang apa itu komunikasi, sesuai dengan bidang mereka masing-masing. Menjadi sangat sulit kemudian untuk melakukan pemetaan wilayah kajian teori komunikasi karena bisa saja para ilmuwan ini tidak setuju pada pada suatu teori karena tidak sesuai dengan pengalaman mereka.
Gugatan tentang sifat multidisiplin kajian komunikasi coba dijawab Robert T.Craig, seorang Professor Komunikasi dari University of Colorado, melalui serangkaian penelitian. Ia menemukan banyak sekali pendidikan tinggi yang menawarkan pendidikan komunikasi dan banyak sekali text book yang membahas teori-teori komunikasi. Tetapi diantara ini semua dia menemukan bahwa berbagai teori yang diajarkan dari berbagai pendidikan ini semua berjalan sendiri sendiri, Craig menyebutnya there is no consensus on the field. Teori komunikasi sangat kaya dengan ide-ide tetapi gagal dalam jumlah cakupannya. Teori komunikasi tumbuh terus tetapi belum memberikan pemahaman apa sesungguhnya teori komunikasi itu.
Craig menuliskan apa yang ditemukannya ini dalam bukunya  Communication Theory as a Field (1999). Dengan tegas dia mengatakan bahwa communication theory is not yet a coherent field of study seems inescapable(Craig, 1999: 64). Craig melihat bahwa tidak adanya koherensi dalam kajian komunikasi karena sifat multidisiplin yang dibawa oleh masing masing ilmuwan yang sering salah dalam penggunaannnya tetapi terus dipupuk dan dipertahankan.
Elaborasi Teori: Perspektif Tujuh Tradisi
            Dengan keprihatinan inilah Robert T Craig secara optimis menawarkan communication theory as a field of study that integrattes seven traditions of thought with share focus on practical communication problems (Ibid.: ix). Menurutnya  bahwa sebagai suatu kajian, ilmu komunikasi dapat memiliki teori yang koheren melalui suatu proses yang digambarkannya:
A field will emerge to the extent that we increasingly enggage as communication theoriests with socially important goals, questions, and controversies that cut across the various disciplinary traditions , substantive specialities, methodologises, and school of thought that presently divide us. (Ibid.: 64)
            Komunikasi memungkinkan muncul sebagai suatu bidang kajian yang utuh asal ada kesadaran dari masing masing ilmuwan yang terlibat di dalamnya bahwa mereka memiliki tujuan, permasalahan atau bahkan perbedaaan yang dapat mengeluarkan mereka dari belenggu masing masing disiplin ilmu yang memisahkan diantara mereka.  Dibutuhkan dua persyaratan untuk melihat teori komunikasi sebagai suatu kajian keilmuan. (1) a common understanding of the similarities and differences among theories, Metamodel (model of models) (2). A new definition of theories , theories are form of discourse; a discourse about discourse (Metadiscourse) (Ibid., 2007: 67-69).
Craig: Dialogical vs dialectical
            Dalam mengawali idenya tentang tradisi teori komunikasi, Craig terlebih dahulu menggambarkan dengan jelas apa yang dimaksudkannya dengan tradisi. Menurutnya tradisi adalah something handed down from the past, but no living tradition is statis. Traditions are constantly changing (Ibid.: xiii). Sesuatu yang sudah kita miliki sejak dulu (waktu sebelumnya), yang tidak statis tetapi terus berkembang sesuai dengan jaman. Lebih jauh Craig menegaskan bahwa traditions are not homogeneous. Every tradition is characterized by a history of argument about beliefs and values that are important to the tradition. Ini lebih menjelaskan bahwa dalam memelihara suatu tradisi peran nilai nilai yang sudah ada menjadi hal utama yang harus diperhatikan.
Untuk setiap tradisi yang diungkapkannya Craig memberikan indikator dari masing-masing antara lain dengan karakteristik definisi komunikasi dan hubungan yang terbentuk karena definisi tersebut; metadiskursif vacobulary, hal yang tidak bisa digugat (taken for granted) dalam metadikursif komunikasi dan penempatan metadiskursif dari masing-masing tradisi yang menunjukkan sisi menarik atau menantangnya (Ibid.: 72).
Gambaran perspektif yang diungkapkan oleh Craig ini disarikan oleh Miller (2005: 13) dalam bentuk seperti tabel di bawah ini:
Conceptual Domains of Communication Theory
Communication theory as
Problems of Communication Theory as
Rhetorical
The practical art of discourse
Spcial exigency requiring collective deliberation and judment
Semiotic
Intersubyective mediation signs
Misunderstanding or gap between subjective viewpoints
Phenomenological
Experience of otherness;dialogue
Absence of, or failure to sustain, authentic human relationship
Cybernetic
Information processing
Noise, overload, underload, malfunction or bug in a system.
Sociopsychological
Expression, interaction and influence
Situation requiring manipulation of causes of behavior to achieve specified outcomes.
Sociocultural
(Re)production of social order
Conlict, alineation, misalignment; failure of coordination
Critical
Discusive reflection
Hegemonic ideology, systematically distoted speech communication
Sumber: Miller (2005: 13)
Perlu ditekankan di sini dalam memandang penempatan masing-masing tradisi keilmuan komunikasi Craig mendasarkan pada konsep praktek komunikasi sehari hari dan sesuai dengan perkembangan dari tradisi itu sendiri. Untuk itulah dia menempatkan tradisi retorika sebagai tradisi pertama dalam peletakannya karena menimbang retorika adalah praktek komunikasi yang paling jelas terlihat dan telah ada begitu lama sebagai sebuah tradisi. Dengan logika semacam ini pula bahwa tradisi kritikal mendapat tempat terakhir dalam penempatan Craig karena dianggapnya paling sikit (kurang) sebagai suatu bentuk praktek komunikasi dan juga muncul sebagai tradisi yang cukup baru.
            Titik tolak lain yang juga harus diperhatikan dalam kajian Craig ini dia selalu menempatkan manakala tradisi-tradisi ini saling bertentangan atau juga tidak memenuhi kriteria yang ada maka langkah penting yang harus dilakukan adalah dengan cara dialog dan dialektikal. Kesadaran untuk saling melengkapi satu sama lain dan memberikan perhatian untuk perbedaan dari masing-masing teori.
Littlejohn: Similarities vs Differences
            Biarpun sedikit terlambat di banding ilmuwan lain, Littlejohn mulai merespon ide Craig untuk menghilangkan sekat ‘multidisiplin’ kajian teori komunikasi pada bukunya Human Communication Theory Edisi 7 (2002). Dalam buku ini baru sedikit saja ide Tujuh Tradisi dalam Teori Komunikasi dimunculkan, yaitu hanya pada Bab I Communication Theory and Scholarship, poin Communication Theory as a Filed (Ibid.: 12-15).  Di sini ia mengakui bahwa Craig proposes a vision for communication theory that takes a huge step toward unifying our otherwise disparate field (Ibid.: 12)
            Kejelasan dari pemahaman Littlejohn tentang Tujuh Tradisi dalam Teori Komunikasi ini dilakukannya dengan merubah secara besar-besaran bukunya Theory of Human Communication Edisi 8 (2005). Dalam menjelaskan teori komunikasi dari Littlejohn tidak lagi berdasarkan tingkatan atau levels komunikasi tetapi pengelompokan suatu teori komunikasi dilakukan berdasarkan pengelompokkan di masing-masing tradisi. Littlejohn secara tegas mengatakan bahwa we particularly like Robert Craig’s model because it offers a way of looking at and reflecting on the communication field in a holistic way (2009: 34).
Kata kunci yang dipegang Littlejohn dalam menerapkan Perspektif Tujuh Tradisi Komunikasi adalah (1) a common understanding of similarities and differences, or tension points among theories (2) a commitmen to manage these tensions through dialogue (2008: 6). Berpegang pada prinsip perbedaan dan persamaan suatu teori bagi Littlejohn tidak hanya berdasarkan dari daftar (list) yang membedakan atau menyamakan saja, tetapi lebih pada kesamaan ide mengapa suatu teori itu memiliki kesamaan ataupun perbedaan.
Hal ini disebut Littlejohn sebagai Metamodel atau model dari model telah ada. Metamodel ini menyediakan pola-pola yang koheren yang dapat menolong menyatukan definisi isu-isu dan asumsi-asumsi yang ada dalam teori komunikasi. Sisi lain  yang perlu diperhatikan juga adalah konsep definisi suatu teori. Teori tidak hanya dipandang sebagai suatu penjelasan atau proses belaka, melainkan harus dilihat sebagai suatu statement atau argumen yang mendukung suatu pendekatan. Teori menjadi bentuk diskursus atau lebih khusus lagi sebaga suatu metadiskursus.
            Melalui pemikiran Craig ini Littlejohn meyakini bahwa Perspektif Tujuh Tradisi Teori Komunikasi dapat berguna sebagai a guide and tool for looking at the assumption, perspectives and focal points of communication theories to be able to see their similarities and differences (2008: 33). Karena Littlejohn berpegang pada konsep kesamaan dan perbedaan dari masing-masing teori dalam suatu tradisi maka menurutnya ke tujuh tradisi dalam teori komunikasi itu dapat dimulai dari semiotik, phenomenologi, cybernetic, psikologisosial, sosio-kultural, critical dan rhetorika.
Misal antara tradisi semiotika dan phenomenologi berdekatan karena secara persamaan kedua tradisi ini membicarakan bagaimana memaknai suatu simbol, sedang dari perbedaan bahwa dalam tradisi semiotik pemaknaan timbul karena tanda atau simbol itu sendiri sedangkan dalam tradisi phenomenologi pemaknaan dilakukan secara efektif, disengaja sesuai dengan pengalan masing-masing individu.
Griffin: Obyektif vs Interpretif.
            Griffin jauh lebih cepat dibandingkan dengan Littlejohn dalam merespon ide Craig. Setahun setelah Craig menuliskan idenya (1999) Griffin dalam bukunya A First Look at Communication Theory  Edisi 4 (tahun 2000) memasukan ide ini sebagai salah satu bagian dari chapter bukunya. Dalam hal ini Griffin sangat menyanjung Craig dengan mengatakan, “Craig offers a more sophisticated solution”(2009: 41).
            Mengapa Griffin mendukung ide Craig karena menurutnya pendekatan Craig ini menggunakan apa yang sudah dilakukan dalam problem dan praktek komunikasi sehari-hari. Jadi menurut Griffin apa yang ada dalam Tujuh Tradisi dalam Teori Komunikasi ini merupakan tujuh tradisi yang sudah dilakukan sebelumnya. Yang terpenting adalah bahwa tradisi dalam teori komunikasi ini menawarkan perbedaan, yaitu perbedaan dalam cara-cara mengkonseptualkan problem dan praktek komunikasi. Dari sini akan muncul kesadaran setiap ilmuwan yang berbicara dalam tiap tradisi tidak akan memandang lagi keilmuannya secara terkotak-kotak sesuai asal mereka.
            Dalam menerima ide Tujuh Perspektif Tradisi dalam Teori Komunikasi, Griffin tetap memegang komitmen awal dari apa yang telah diajarkannya bahwa dalam melihat teori  harus membedakannya berdasarkan pendekatan obyektif ataukah interpretif. Ciri-ciri pendekatan objektif menurutnya antara lain the assumption that truth is singular and accessible through unbiased sensory observation; committed to uncovering cause and effect relationship (2009: 14), teori-teori yang bersifat positivis dan berprinsip pada hipothetico deductive verificative. Hubungan antara peneliti dengan yang diteliti terpisah dimana peneliti berada di luar obyek yang diteliti. Pendekatan interpretif  merupakan the linguistic work of assigning or value to communicative texts; assumes that multiple meaning or truth are possible (Ibid.: 15).
            Pengelompokan Tujuh Persepektif dalam Tradisi Komunikasi menurut Griffin menjadi tidak seperti pemikiran Craig ataupun Littlejohn. Pengelompokan masing-masing tradisi dilakukannya berdasarkan pendekatan obyektif ataukah interpretif. Hal ini dijelaskannya, “It’s important to realize that location of each tradition on the map is far from random. My rationale for placing them where they are is based on the distiction between objective and interpretive theories (2009: 51).
Tujuh Persepektif Tradisi Komunikasi
Berdasarkan pemikiran Griffin ini maka tradisi psikologi sosial dan cybernetic berada di tradisi yang paling bersifat obyektif, sedangkan phenomenology dan critical  paling bersifat interpretif.
Implikasi dalam Penelitian
            Ide Craig tentang Tujuh Tradisi dalam Teori Komunikasi yang didukung penuh oleh Littlejohn dan Griffin selain telah membuka ruang baru untuk menghilangkan sekat-sekat multidisiplin dalam kajian komunikasi juga dapat memberikan pemahaman penggunaan  teori dalam penelitian. Sunarto (2011: 12) menyatakan bahwa model tradisi ini membantu untuk lebih memahami kaitan antar berbagai tradisi dengan implikasi berbagai teori komunikasi yang ada di dalammya dengan metode penelitian yang digunakan.
Hal ini seperti yang dilontar Griffin (2009:51) dalam kajiannya dengan memperlihatkan mana kelompok dari ke Tujuh Tradisi dalam Teori Komunikasi yang dapat dilakukan dengan penelitian yang berdasarkan obyektif, positivis, metode kuantitatif dan mana yang interpretif dengan kekuatan pada metode kualitatif.
           Dengan melihat bagan pemikiran dari Griffin diatas dapat dilihat bahwa tradisi psikologi sosial dimana di dalamnya terdapat banyak teori-teori komunikasi interpersonal akan lebih banyak dilakukan dengan pendekatan penelitian obyektif, kuantitatif. Sedangkan teori-teori yang berada dalam tradisi phenomenology dan critical lebih tepat dilakukan dengan pendekatan penelitian yang bersifat interpretif-kualitatif. Tradisi semiotika dan sosial-budaya akan berada dalam wilayah antara kuantitatif dan kualitatif.
            Implikasi perspektif Tujuh Tradisi dalam Teori Komunikasi secara luas dapat diterapkan dengan berbagai paradigma penelitian yang telah dikembangkan oleh berbagai ilmuwan. Sunarto (2011: 12) melihat sangat memungkinkan muncul relasi yang signifikan antara apa yang dilihat Miller (2005) melalui paradigma postpositivistik; interpretif dan kritis dan pemikiran Griffin yang meletakan perspektif obyektif dan interpretif dalam memahami ke perspektif Tujuh Tradisi dalam Teori Komunikasi. Tradisi yang masuk dalam ranah objektif, dapat dikatakan menggunakan positivistik dan postpositivitistik. Tradisi yang masuk subyektif.
Penutup
Kajian tentang perspektif Tujuh Tradisi dalam Teori Komunikasi ini telah membuka sebuah ruang baru bagi kita untuk mendiskusikan perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan yang ada dalam teori-teori komunikasi tanpa memunculkan sekat-sekat keilmuan yang bersifat multidisiplin.
Keberadaan cara pandang yang diberikan Craig kemudian diikuti Littlejohn dan Griffin diharapkan dapat memicu pemikiran-pemikiran baru bagi kita yang mempelajari ilmu komunikasi dalam melihat teori komunikasi. Di samping itu perspektif ini juga akan membangun kajian yang holistik terkait dengan metode penelitian komunikasi.
Daftar Pustaka
Craig, Robert T  dan Heidi L Muller, (2007), Theorizing Communication Reading  
                  Across Traditions (Ed), Sage Publication: California.
Dance, Frank E.X, (1982), Human Communication Theory Comparative Essays, Harper Row  Publisher: London.
Griffin EM, (2009), A First Look at Communication Theory, Seventh Ed, McGraw-
                 Hill: Boston.
__________,( 2000), A First Look at Communication Theory, Fourth Ed, McGraw-Hill:  Boston.
Littlejohn, Stephen W, (1983), Theories of Human Commnucation, Second Ed,
                  Wardworth: California.
__________, (2002), Theories of Human Commnucation, Seventh Ed,
                   Wadworth: Albuquerque, New Mexico.
__________, (2005), Theories of Human Commnucation, Eight Ed,
                   Wadworth: Albuqueque, New Mexico.
__________, (2008), Theories of Human Commnucation, Ninth Ed,
                   Wadworth: Albuquerque, New Mexico.
Karen A Foss, (2011), Theories of Human Commnucation, Tenth Ed, Waveland Press Inc, Long Grove.
___________, (2009), Encyclopedia of Communication Theory,
                  Sage, Los angeles.
Miller, Katerine, (2005), Communication Theries, Perspectives, Process and Context,
                    2nd (ed), McGraw-Hill, International edition.
Sunarto. (2011), ”Paradigma dan Metode Penelitian Komunikasi di Indonesia”,dalam
                   Aswad Ishak dkk, Mix Methodology dalam Penelitian Komunikasi,
                   Aspikom, Buku Litera: Yogyakarta.

Sumber:   Heri Erlangga

_______________________________________________________________________________________

1. Pemikiran Richard Lanigan
Karyanya yang berjudul “Communication Models in Philosophy, Review and Commentary” membahas secara khusus “analisis filsafati mengenai komunikasi”.
Mengatakan; bahwa filsafat sebagai disiplin biasanya dikategorikan menjadi sub-bidang utama menurut jenis justifikasinya yang dapat diakomodasikan oleh jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan berikut ini :
– Apa yang aku ketahui ? (What do I know ?)
– Bagaimana aku mengetahuinya ? (How do I know it ?)
– Apakah aku yakin ? (Am I sure ?)
– Apakah aku benar ? (Am I right ?)

Pertanyaan-pertanyaan di atas berkaitan dengan penyelidikan sistematis studi terhadap :
– Metafisika;
– Epistemologi;
– Aksiologi; dan
– Logika

Metafisika; adalah suatu studi tentang sifat dan fungsi teori tentang realita. Hubungannya dengan teori komunikasi, metafisika berkaitan dengan hal-hal sbb :
1) Sifat manusia dan hubungannya secara kontekstual dan individual dengan realita dalam alam semesta;
2) Sifat dan fakta bagi tujuan, perilaku, penyebab, dan aturan;
3) Problem pilihan, khususnya kebebasan versus determinisme pada perilaku manusia.

Pentingnya metafisika bagi pembahasan filsafat komunikasi, dikutip pendapat Jujun S Suriasumantri dalam bukunya “Filsafat Ilmu” mengatakan bahwa metafisika merupakan suatu kajian tentang hakikat keberadaan zat, hakikat pikiran, dan hakikat kaitan zat dengan pikiran.
Objek metafisika menurut Aristoteles, ada dua yakni :
– Ada sebagai yang ada; ilmu pengetahuan mengkaji yang ada itu dalam bentuk semurni-murninya, bahwa suatu benda itu sungguh-sungguh ada dalam arti kata tidak terkena perubahan, atau dapat diserapnya oleh panca indera. Metafisika disebut juga Ontologi.
– Ada sebagai yang iLLahi; keberadaan yang mutlak, yang tidak bergantung pada yang lain, yakni TUHAN (iLLahi berarti yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera).

Epistemologi; merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan pengetahuan manusia (a branch of philosophy that investigates the origin, nature, methods and limits of human knowledge).
Epistemologi berkaitan dengan penguasaan pengetahuan dan lebih fundamental lagi bersangkutan dengan kriteria bagi penilaian terhadap kebenaran dan kepalsuan, tepat apabila dihubungkan dengan metodologi.
Metode; adalah tata cara dari suatu kegiatan berdasarkan perencanaan yang matang dan mapan, sistematik dan logis.
Pada dasarnya metode ilmiah dilandasi :
– Kerangka pemikiran yang logis;
– Penjabaran hipotesis yang merupakan deduksi dan kerangka pemikiran;
– Verifikasi terhadap hipotesis untuk menguji kebenarannya secara faktual.

Jujun S Suriasumantri, mengemukakan akronim metode ilmiah yang dikenal sebagai logicohypotetico verifikasi, kerangka pemikiran yang logis mengandung argumentasi yang dalam menjabarkan penjelasannya mengenai suatu gejala bersifat rasional.
Lanigan, mengatakan bahwa dalam prosesnya yang progresif dari kognisi menuju afeksi yang selanjutnya menuju konasi, epistemology berpijak pada salah satu atau lebih teori kebenaran.

Dikenal empat teori kebenaran, sebagai berikut :
1) Teori koherensi; suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.
2) Teori korespondensi; suatu pernyataan adalah benar jikalau materi yang terkena oleh persyaratan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan itu.
3) Teori pragmatik; suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia.

Aksiologi; asas mengenai cara bagaimana menggunakan ilmu pengetahuan yang secara epistemologis diperoleh dan disusun. Aksiologi adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan nilai-nilai seperti etika, estetika, atau agama.

Dalam hubungannya dengan filsafat komunikasi, aksiologi adalah suatu kajian terhadap apa itu nilai-nilai manusiawi dan bagaimana cara melembagakannya atau mengekspresikannya.

Jelaslah, pentingnya seorang komunikator untuk terlebih dahulu mempertimbangkan nilai (value judgement), apakah pesan yang akan dikomunikasikan etis atau tidak, estetis atau tidak.

Logika; berkaitan dengan telaah terhadap asas-asas dan metode penalaran secara benar. Logika sangat penting dalam komunikasi, karena pemikiran harus dikomunikasikan, sebagai hasil dari proses berpikir logis.

2. Pemikiran Stephen LittleJOHN
Materi – 7 : Heri Erlangga

Penelaahan terhadap teori dan proses komunikasi dengan membagi menjadi tiga tahap dan empat tema :

A. Tahap Metatheoritical;
Meta mempunyai beberapa pengertian :
– Berubah dalam posisi (changed in position);
– Di seberang, di luar atau melebihi (beyond);
– Di luar pengertian dan pengalaman manusia (trancending);
– Lebih tinggi (higher);

Teori menurut Wibur Schramm adalah “suatu perangkat pernyataan yang saling berkaitan pada abstraksi dengan kadar yang tinggi, dan daripadanya proposisi dapat dihasilkan yang dapat diuji secara ilmiah, dan pada landasannya dapat dilakukan prediksi mengenai tingkah laku”.

B. Tahap Hipotetikal;
Adalah tahap teori di mana tampak gambaran realitas dan pembinaan kerangka kerja pengetahuan.

C. Tahap Deskriptif;
Tahap ini meliputi pernyataan-pernyataan aktual mengenai kegiatan dan penemuan-penemuan yang berkaitan dengannya.

Empat Tema dimaksud adalah :

A. Tema Epistemology (pertanyaan mengenai pengetahuan);
Adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan pengetahuan manusia.

LittleJOHN mengajukan pertanyaan : Dengan proses bagaimana timbulnya pengetahuan ? terdapat empat posisi :

1. Mentalisme atau rasionalisme yang menyatakan bahwa pengetahuan timbul dari kekuatan pikiran manusia. Posisi ini menempatkan pada penalaran manusia.

2. Empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan muncul dalam persepsi. Melihat dunia apa yang sedang terjadi.

3. Konstruksivisme yang menyatakan bahwa orang menciptakan pengetahuan agar berfungsi secara pragmatis dalam kehidupannya. Percaya bahwa fenomena di dunia dapat dikonsepsikan dengan berbagai cara, dimana pengetahuan berperan penting untuk merekayasa dunia.

4. Konstruksivisme sosial mengajarkan bahwa pengetahuan merupakan produk interaksi simbolik dalam kelompok sosial. Realitas dikonstruksikan secara sosial sebagai produk kehidupan kelompok dan kehidupan budaya.

B. Tema Ontology (pertanyaan mengenai eksistensi);

Ontology adalah cabang filsafat mengenai sifat wujud (nature of being) atau sifat fenomena yang ingin kita ketahui, dalam sosiologi berkaitan dengan sifat interaksi sosial.

Dalam teori komunikasi tampak berbagai posisi ontologis, tetapi dapat dikelompokan menjadi dua posisi yang saling berlawanan :

1. Teori Aksional (actional theory);
Bahwa orang menciptakan makna, mereka mempunyai tujuan, mereka menentukan pilihan nyata. Berpijak pada landasan teleologis yang menyatakan bahwa orang mengambil keputusan yang dirancang untuk mencapai tujuan.

2. Teori Non-aksional (nonactional theory);
Bahwa perilaku pada dasarnya ditentukan oleh dan responsive terhadap tekanan-tekanan yang lalu. Tradisi ini dalil-dalil tertutup biasanya dipandang tepat, interpretasi aktif seseorang dilihat dengan sebelah mata.

C. Tema Perspective (pertanyaan mengenai focus);
Suatu teori terdapat pada fokusnya. Perspektif berkorelasi dengan epistemology dan ontology disebabkan bagaimana teoritisi memandang pengetahuan dan bagaimana pengaruhnya terhadap perspektif teori. Teori komunikasi menyajikan perspektif khusus darimana prosesnya dapat dipandang.
Suatu perspektif adalah sebuah titik pandang, suatu cara mengkonseptualisasikan sebuah bidang studi. Perspektif ini memandu seorang teoritikus dalam memilih apa yang akan dijadikan fokus dan apa yang akan ditinggalkan, bagaimana menerangkan prosesnya, dan bagaimana mengkonseptualisasikan apa yang diamati.

Empat jenis yang dinilainya memadai dalam pembahasan perspektif, yaitu :

1. Perspektif Behavioristik (behavioristic perspective);
Timbul dari psikologi mazhab perilaku atau behavioral, menekankan pada rangsangan dan tanggapan (stimulus dan response) yang cenderung menekankan pada cara bahwa orang dipengaruhi oleh pesan.

2. Perspektif Transmisional (transmissional perspective);
Memandang komunikasi sebagai pengiriman informasi dari sumber kepada penerima, menggunakan gerakan model linier dari suatu lokasi ke lokasi lain. Menekankan pada media komunikasi, waktu dan unsur-unsur konsekuensial.

3. Perspektif Interaksional (interactional perspective);
Mengakui bahwa para pelaku komunikasi secara timbal balik menanggapi satu sama lain. Umpan balik dan efek bersama merupakan kunci konsep.

4. Perspektif Transaksional (Transactional perspective);
Menekankan kegiatan saling beri. Memandang komunikasi sesuatu di mana pesertanya terlibat secara aktif, menekankan konteks, proses dan fungsi. Komunikasi dipandang situasional dan sebagai proses dinamis yang memenuhi fungsi-fungsi individual dansosial

D. Tema Axiology (pertanyaan mengenai nilai).
Cabang Filsafat yang mengkaji nilai-nilai. Bagi pakar komunikasi, ada tiga persoalan aksiologis :

1. Apakah Teori Bebas Nilai ?
Ilmu klasik menganggap teori dan penelitian bebas nilai. Ilmu pengetahuan bersifat netral, berupaya memperoleh fakta sebagaimana tampak dalam dunia nyata.

Jika ada pendirian ilmu pengetahuan tidak bebas nilai, karena karya peneliti dipandu oleh suatu kepentingan dalam cara-cara tertentu dalam melaksanakan penyelidikan.

Beberapa cendikiawan berpendapat bahwa teori tidak pernah bebas nilai dalam metode dan substansinya. Para ilmuwan memilih apa yang akan dipelajari, dan pemilihan itu dipengaruhi oleh nilai-nilai baik personal maupun institusional.

2. Sejauh mana pengaruh praktek penyelidikan terhadap obyek yang dipelajari ?
Titik pandang ilmiah menunjukan bahwa para ilmuwan melakukan pengamatan secara hati-hati, tetapi tanpa interferensi dengan tetap memelihara kemurnian pengamatan. Beberapa kritisi tetap berpendapat bahwa teori dan pengetahuan mempengaruhi kelangsungan hidup manusia.

3. Sejauh mana ilmu berupaya mencapai perubahan sosial ?
Apakah para ilmuwan akan tetap objektif atau akan berupaya membantu perubahan sosial dengan cara-cara yang positif ? Peranan ilmuwan adalah menghasilkan ilmu, sarjana bertanggungjawab berkewajiban mengembangkan perubahan yang positif.

Jadi secara keseluruhan, persoalan aksiologis ini terdapat dua posisi umum, yaitu :

1. Ilmu yang sadar nilai (value-conscious) mengakui pentingnya nilai bagi penelitian dan teori secara bersama berupaya untuk mengarahkan nilai-nilai kepada tujuan positif.

2. Ilmu yang bernilai netral (value-neutral) percaya bahwa ilmu menjauhkan diri dari nilai-nilai, dan bahwa para cendikiawan mengontrol efek nilai-nilai.

3. Pemikiran Whitney R. Mundt
Materi – 8 : Heri Erlangga

Berbeda dengan pemikiran yang lain, dalam karyanya ”Global Media Philosophies” menjelaskan keterpautan pemerintah dengan jurnalistik di mana keseimbangan kekuatan selalu bergeser. Pertanyaannya, dimana garis pemisah antara kebebasan dan pengawasan ?
Menurut MUNDT ;
– Dalam teori authoritarian pers adalah pelayan negara.
Peranannya tidak usah dipertanyakan, karena merupakan filsafat kekuasaan mutlak dari pemerintah suatu kerajaan.
Perintisnya adalah Hobbes, Hegel dan Machiavelli.
Negara-negara contohnya adalah Iran, Paraguay dan Nigeria.

– Teori libertarian, media tidak bisa tunduk kepada pemerintah, tetapi harus bebas otonom, bebas untuk menyatakan ideanya tanpa rasa takut diintervensi pemerintah.
Perintisnya adalah Locke, Milton dan Adam Smith.
Negara-negara contohnya adalah AS, Jepang dan Jerman Barat.

– Teori Social Responsibility, merupakan modifikasi atau perkembangan dari teori libertarian, tetapi berbeda dengan akarnya; fungsi pers adalah sebagai media untuk mendiskusikan konflik. Perbedaan lainnya ialah pers tanggungjawab sosial diawasi oleh opini komunitas, kegiatan konsumen dan etika profesional.
Beberapa negara cenderung menganut teori ini, termasuk AS.
– Teori Soviet Communist dikatakan bahwa pers Uni Soviet melayani partai yang sedang berkuasa dan dimiliki oleh negara.
Orang-orang soviet mengatakan bahwa persnya bebas untuk menyatakan kebenaran, sedangkan pers dengan apa yang dinamakan sistem liberal dikontrol oleh kepentingan bisnis.

Dalam kaitannya dengan Filsafat PERS, Lowenstein tetap berpegang pada istilah authoritarian dan libertarian.
Jelasnya dibawah ini adalah tipologi Lowenstein.

Kepemilikian PERS :
1. Kepemilikan Pribadi – Dimiliki oleh perorangan atau lembaga non-pemerintah; dibiayai terutama oleh periklanan ddan langganan.

2. Kepemilikan Partai Politik – Dimiliki oleh partai politik, disubsidi oleh partai atau anggota partai.

3. Kepemilikan Pemerintah – Dimiliki oleh pemerintah atau partai pemerintah yang dominan, disubsidi terutama oleh dana pemerintah.

Filsafat PERS :
1. Otoritarian – Dengan lisensi dan sensor pemerintah untuk menekan kritik dan dengan demikian memelihara kekuasaan kaum elite.

2. Sosial-otoritarian – Dimiliki oleh pemerintah atau partai pemerintah untuk melengkapi pers guna mencapai tujuan ekonomi nasional dan tujuan filsafati.
3. Libertarian – Ketiadaan pengawasan pemerintah (kecuali undang-undang tentang fitnah dan cabul), untuk menjamin pemasaran gagasan secara bebas (free market place of ideas) dan pengoperasian proses tegakkan diri (selfrighting process).

4. Sosial Libertarian – Pengawasan pemerintah secara minimal untuk menyumbat saluran-saluran komunikasi dan untuk menjamin semangat operasional dari filsafat libertarian.
5. Sosial Sentralis – Kepemilikan pemerintah atau lembaga umum dengan saluran komunikasi terbatas untuk menjamin semangat operasional dan filsafat libertarian.

4. Nilai Logika, Etika dan Estetika dalam Komunikasi
Bagan Hubungan Logika, Etika dan Estetika :

Dasar Tujuan Nilai Hasil

LOGIKA Pikiran Kebenaran Benar/Salah IPTEK

FILSAFAT ETIKA Kehendak Kecocokan Baik/Buruk Keserasian

ESTETIKA Perasaan Keindahan Indah/Jelek Kesenian

Penjelasan mengenai nilai inti yang tercakup oleh filsafat komunikasi adalah, sebagai berikut :
1) Logika;
Logika berkaitan dengan penelaahan terhadap asas-asas dan metode penalaran secara benar (deals with the study of the principles and methods of correct reasoning). Bahwa logika teramat penting dalam proses komunikasi, jelas karena suatu pemikiran harus dikomunikasikan kepada orang lain, dan yang dikomunikasikan itu harus merupakan putusan sebagai hasil dari proses berpikir logis (yang berarti mengadakan seleksi diantara fakta dan opini, untuk kemudian menyusunnya menjadi suatu kesatuan yang utuh, tidak bertentangan dengan satu sama lain).
M. Sommer dalam bukunya “Logika” mengatakan bahwa kalau seseorang hendak bicara atau menulis dengan tepat, ia harus memperhatikan hukum-hukum gramatika. Dan jika hendak berpikir tepat, harus memperhatikan hukum-hukum logika.
Logika oleh Summer didefinisikan sebagai “ilmu pengetahuan tentang karya-karya akal budi untuk melakukan pembimbingan menuju kebenaran”.
diposkan oleh Herry Erlangga pada 22:42 1 Komentar
Evasi Komunikasi
Hambatan komunikasi pada umumnya mempunyai 2 sifat :
1. Hambatan Obyektif; Gangguan dan halangan terhadap jalannya komunikasi yang tidak disengaja, dibuat oleh pihak lain, tapi mungkin disebabkan oleh keadaan yang tidak menguntungkan.
Misal: Gangguan cuaca, gangguan lalu-lintas.
Hambatan Objektif juga bisa disebabkan :
• Kemampuan komunikasi yang kurang baik;
• Approach/Pendekatan penyajian kurang baik;
• Timing tidak cocok;
• Penggunaan media yang keliru.
2. Hambatan Subyektif; yang sengaja dibuat oleh orang lain. Disebabkan karena adanya :
• Pertentangan kepentingan;
• Prejudice;
• Tamak;
• Iri hati;
• Apatisme, dsb.
• “Gejala mencemooh dan mengelakan suatu komunikasi untuk mendeskreditkan atau menyesatkan pesan komunikasi”.
• Mencacatkan Pesan Komunikasi (Message made invalid); Kebiasaan mencacatkan pesan komunikasi dengan menambah-nambah pesan yang negatif.
• Mengubah Kerangka Referensi (Changing frame of reference),Kebiasaan mengubah kerangka referensi menunjukkan seseorang yang menanggapi komunikasi dengan diukur oleh kerangka referensi sendiri.
diposkan oleh Herry Erlangga pada 19:58 0 Komentar
Faktor-Faktor Penunjang Komunikasi Efektif Mengapa Komunikasi Kita Pelajari dan Teliti ?
Jawabannya :
Karena Kita Ingin Mengetahui Bagaimana Efek Suatu Jenis Komunikasi kepada Seseorang.
WILBUR Schramm, menampilkan apa yang disebut “the condition of success in communication”, yakni kondisi yang harus dipenuhi jika kita menginginkan agar suatu pesan membangkitkan tanggapan yang kita kehendaki, dengan memperhatikan :
a) Pesan harus dirancang dan disampaikan sehingga menarik.
b) Pesan harus menggunakan lambang-lambang tertuju kepada pengalaman antara komunikator dan komunikan, sehingga dimengerti.
c) Pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi komunikan.
d) Pesan harus menyarankan suatu jalan untuk memperoleh kebutuhan komunikan.
1. FAKTOR KOMPONEN KOMUNIKAN
a. Para Ahli Komunikasi meneliti sedalam-dalamnya tujuan Komunikan
b. Mengapa “Know Your Audience” merupakan ketentuan utama dalam komunikasi
Sebabnya ialah karena penting mengetahui :
-Timing yang tepat untuk suatu pesan;
-Bahasa yang harus dipergunakan agar pesan dapat dimengerti;
-Sikap dan nilai yang harus ditampilkan agar efektif;
-Jenis kelompok dimana komunikasi akan dilaksanakan.
Komunikan dapat dan akan menerima sebuah pesan hanya kalau terdapat empat kondisi berikut ini :
• Dapat dan Benar-benar Mengerti Pesan Komunikasi;
• Pada Saat Mengambil Keputusan, Sadar Sesuai dengan Tujuannya;
• Pada Saat Mengambil Keputusan, Sadar Keputusannya Bersangkutan dengan Kepentingan Pribadinya;
• Mampu menepatinya baik secara mental maupun fisik.
2. FAKTOR KOMPONEN KOMUNIKATOR
Dua Faktor Penting pada diri Komunikator:
• Kepercayaan pada Komunikator (Source Credibility);
Hasrat seseorang untuk memperoleh suatu pernyataan yang benar. Kualitas komunikasinya sesuai dengan kualitas sampai dimana ia memperoleh kepercayaan dari komunikan. Kepercayaan ditentukan oleh Keahliannya dan dapat dipercaya. Karena kepercayaan yang besar dapat merubah sikap.
nDaya Tarik Komunikator (Source Attractiveness);
Hasrat seseorang untuk menyamakan dirinya dengan komunikator. Komunikator akan sukses dalam komunikasinya, bila berhasil memikat perhatian komunikan. Sehingga akan mempunyai kemampuan melakukan perubahan sikap melalui mekanisme daya tarik. Komunikan menyenangi komunikator, apabila merasa adanya kesamaan khususnya kesamaan ideologi yang lebih penting daripada kesamaan demografi.
Seorang komunikator akan sukses dalam komunikasinya. Kalau menyesuaikan komunikasinya dengan “the image” dari komunikan, yaitu :
nMemahami kepentingannya;
-Kebutuhannya;
-Kecakapannya;
-Pengalamannya;
-Kemampuan berpikirnya;
-Kesulitannya; dsb
Singkatnya, Komunikator harus dapat menjaga kesemestaan alam mental yang terdapat pada komunikan.
Prof. Hartley, menyebutnya “the image of other”.
3. HAMBATAN KOMUNIKASI
Ahli Komunikasi menyatakan; tidaklah mungkin seseorang melakukan komunikasi yang sebenarnya efektif, karena ada banyak hambatan yang harus menjadi perhatian, antara lain :
a. Gangguan
– Mekanik (Mechanical channel noise); Gangguan yang disebabkan saluran komunikasi atau kegaduhan yang bersifat fisik.
– Semantik (Semantic noise); Gangguan yang bersangkutan dengan pesan komunikasi yang pengertiannya menjadi rusak. Karena melalui penggunaan bahasa.
Semantik adalah pengetahuan mengenai pengertian kata-kata yang sebenarnya atau perubahan pengertian kata-kata. Lambang kata yang sama mempunyai pengertian yang berbeda untuk orang-orang yang berlainan, terjadi salah pengertian Denotatif (arti yang sebenarnya dari kamus yang diterima secara umum) dan Konotatif (arti yang bersifat emosional latar belakang dan pengalaman seseorang).
b. Kepentingan
Interest atau kepentingan akan membuat seorang selektif dalam menanggapi atau menghayati suatu pesan. Orang akan memperhatikan perangsang yang ada hubungannya dengan kepentingannya.
c. Motivasi Terpendam
Motivasi akan mendorong seseorang untuk berbuat sesuatu yang sesuai benar dengan keinginan, kebutuhan dan kekurangannya. Intensitasnya akan berbeda atas tanggapan seseorang terhadap suatu komunikasi.
d. Prasangka
Prejudice atau prasangka merupakan rintangan atau hambatan berat bagi kegiatan komunikasi.
diposkan oleh Herry Erlangga pada 19:52 0 Komentar
Proses Komunikasi
Bagaimana tekniknya agar komunikasi yang dilancarkan seseorang komunikator berlangsung efektif, dalam prosesnya dapat ditinjau dari dua perspektif :
•Proses Komunikasi dalam Perspektif Psikologis;
Dalam perspektif ini terjadi pada diri komunikator dan komunikan, terjadinya suatu proses komunikasi (isi pesan berupa pikiran dan lambang umumnya bahasa).
Walter Lippman menyebut isi pesan “picture in our head”, sedangkan Walter Hagemann menamakannya “das Bewustseininhalte”. Proses ‘mengemas’ atau ‘membungkus’ pikiran dengan bahasa yang dilakukan komunikator, yang dinamakan ‘encoding’. Sedangkan proses dalam diri komunikan disebut ‘decoding’ (seolah-olah membuka kemasan atau bungkus pesan).
•Proses Komunikasi dalam Perspektif Mekanistis;
Proses ini berlangsung ketika komunikator mengoperkan atau “melemparkan” dengan bibir kalau lisan, atau dengan tangan kalau tulisan.
Penangkapan pesan itu dapat dilakukan dengan indera telinga atau indera mata, atau indera-indera lainnya. Adakalanya komunikasi tersebar dalam jumlah relatif banyak, sehingga untuk menjangkaunya diperlukan suatu media atau sarana, dalam situasi ini dinamakan komunikasi massa.
diposkan oleh Herry Erlangga pada 19:51 0 Komentar
Komunikasi..Pengertian dan Hakikatnya
Dewasa ini Ilmu Komunikasi dianggap sangat penting, Mengapa…???
•Sehubungan dengan dampak sosial yang menjadi kendala bagi kemaslahatan umat manusia akibat perkembangan teknologi….
Karena Apa…?
Dengan Alasan, bahwa :
•Ilmu Komunikasi, apabila diaplikasikan secara benar akan mampu mencegah dan menghilangkan konflik antarpribadi, antarkelompok, antarsuku, antarbangsa, dan antarras, membina kesatuan dan persatuan umat manusia penghuni bumi.
•Pentingnya studi komunikasi karena permasalahan-permasalahan yang timbul akibat komunikasi (akibat perbedaan-perbedaan diantara manusia yang banyak dalam pikirannya, perasaannya, kebutuhannya, keinginannya, sifatnya, tabiatnya, pandangan hidupnya, kepercayaannya, aspirasinya, dsb.
Hakikat Komunikasi, adalah :
•Proses pernyataan antarmanusia. Yang dinyatakan itu adalah pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa sebagai alat penyalurnya.
Tegasnya;
•Komunikasi berarti penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan, jika dianalisis pesan komunikasi terdiri dari dua aspek:
–Pertama, Isi Pesan (the content of the massage);
–Kedua, Lambang (symbol);
–Konkritnya Isi Pesan itu adalah Pikiran atau Perasaan, Lambang adalah Bahasa.
Semakin peliknya antar manusia dan semakin pentingnya studi terhadap komunikasi, disebabkan Teknologi (khususnya teknologi komunikasi yang semakin canggih).
Mengapa harus serius untuk dipelajari, Karena;
•Jika seseorang ‘Salah Komunikasinya’ (miscommunication), maka orang yang dijadikan sasaran mengalami;
•‘Salah Persepsi’ (misperception), yang gilirannya;
•‘Salah Interpretasi’ (misinterpretation), berikutnya;
•‘Salah Pengertian’ (misunderstanding). Dalam hal tertentu menimbulkan;
•‘Salah Perilaku (misbehavior), dapat dibayangkan apabila komunikasinya berlangsung skala nasional atau internasional, bisa fatal.
Apa sebenarnya Komunikasi itu ?
• Secara etimologis dari perkataan latin “communicatio”, istilah ini bersumber dari perkataan “communis” artinya ‘sama’, maksudnya ‘sama makna atau sama arti’. Jadi komunikasi terjadi apabila terdapat kesamaan makna mengenai suatu pesan yang disampaikan oleh komunikator dan diterima oleh komunikan.
• Jika terjadi kesamaan makna antar kedua aktor komunikasi, maka komunikasi tidak terjadi, rumusan lain ‘situasi tidak komunikatif’.
diposkan oleh Herry Erlangga pada 19:50 0 Komentar
Hakikat Filsafat Komunikasi
FILSAFAT KOMUNIKASI adalah “SUATU DISIPLIN YANG MENELAAH PEMAHAMAN SECARA FUNDAMENTAL, METODOLOGIS, SISTEMATIS, ANALITIS KRITIS, DAN HOLISTIS TEORI DARI PROSES KOMUNIKASI YANG MELIPUTI SEGALA DIMENSI”, Menurut :
• Bidangnya;
• Sifatnya;
• Tatanannya;
• Tujuannya;
• Fungsinya;
• Tekniknya; dan
• Metodenya

Tujuan Komunikasi :
a. Mengubah Sikap (to change the attitude)
b. Mengubah Opinin (to change the opinion)
c. Mengubah Perilaku (to change the behavior)
d. Mengubah Masyarakat (to change the society)
Fungsi Komunikasi :
a. Menginformasikan (to inform)
b. Mendidik (to educate)
c. Menghibur (to entertain)
d. Mempengaruhi (to influence)
Teknik Komunikasi :
a. Komunikasi Informatif
b. Komunikasi Persuasif
c. Komunikasi Pervasif
d.Komunikasi Koersif
e. Komunikasi Instruktif
diposkan oleh Herry Erlangga pada 19:47 0 Komentar
Etika, Nilai dan Norma
Dua Macam Etika yang Berkaitan Dengan Nilai dan Norma :
Pertama, Etika Deskriptif;
Berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan pola prilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai.
Etika Deskriptif berbicara mengenai fakta apa adanya, yaitu mengenai nilai dan pola perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan realitas konkrit yang membudaya. Ia berbicara mengenai kenyataan penghayatan nilai, tanpa menilai, dalam suatu masyarakat, tentang sikap orang dalam menghadapi hidup ini, dan tentang kondisi-kondisi yang memungkinkan manusia bertindak secara etis.
Kedua, Etika Normatif;
Berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola perilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia, atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia, dan apa tindakan yang seharusnya diambil untuk mencapai apa yang bernilai dalam hidup ini.
Etika Normatif berbicara mengenai norma-norma yang menuntun tingkah laku manusia, serta memberi penilaian dan himbauan kepada manusia untuk bertindak sebagaimana seharusnya berdasarkan norma-norma. Ia menghimbau manusia untuk bertindak yang baik dan menghindari yang jelek.
Bedanya dari kedua macam etika :
Etika Deskriptif memberi fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang perilaku atau sikap yang mau diambil.
Sedangkan Etika Normatif memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan.
Jadi dapat dikatakan bahwa etika memberi manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan sehari-hari. Itu berarti etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam menjalani hidup ini.
• Etika pada akhirnya membantu kita untuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang mau kita lakukan dalam situasi tertentu dalam hidup kita sehari-hari.
• Etika membantu kita untuk membuat pilihan, pilihan nilai yang terjelma dalam sikap dan perilaku kita yang sangat mewarnai dan menentukan makna kehidupan kita.

“Tidak ada yang paling agung di dunia ini selain makhluk bernama manusia;
dan tidak ada yang lebih agung di dalam diri manusia selain akal budinya.”
Sir William Hamilton

Menurut ilmuwan ahli saraf Paul MacLean, otak manusia terdiri atas tiga bagian utama. Ia membandingkan otak manusia dengan otak berbagai jenis hewan. Beberapa jenis hewan seperti kucing dan anjing memiliki indera penciuman dan pendengaran yang amat tajam, jauh lebih tajam daripada yang dimiliki manusia. Otak manusia tumbuh dari bawah ke atas, dari pangkal tulang belakang, kemudian berdasarkan evolusi jutaan tahun, bagian-bagian lebih di atasnya (Goleman, 2000; Zohar, 2001)

Bagian pertama dari otak adalah suatu struktur di bagian ujung tulang belakang yang mencakup bagian dari pangkal otak. Bagian ini mirip dengan otak reptil, dan untuk menghindari istilah ilmiah kita sebut saja sebagai “otak reptil”. Bagian otak ini mengatur pernapasan, denyut jantung, pergerakan otot, serta geraka-gerakan instinktif naluriah lainnya seperti respons “bertempur atau kabur”,  yang membuat seekor reptil bisa mengenali apakah di hadapannya  mangsa atau pemangsa yang akan memangsa dirinya. Dari pusat naluri ini pulalah yang membuat seseorang mampu melompati tembok setinggi empat meter ketika terancam bahaya. Sesuatu yang tidak mungkin dilakukan dalam keadaan normal. Atau seseorang mendadak lompat tanpa alasan yang jelas dan tiba-tiba langit-langit runtuh persis di tempat tadi dia duduk.

Bagian kedua otak yang tumbuh di atas “otak reptil” sebagai evolusi jutaan tahun bisa kita temui pada mamalia, yaitu sistem limbik yang berkembang dengan baik pada jenis hewan mamalia tapi tidak dimiliki jenis reptilia. Karenanya sebutlah bagian ini “otak mamalia”.  Jadi, pada mamalia, selain ada bagian “otak reptil” di pangkal tulang belakang adalah “otak mamalia”. Bagian inilah yang mengatur emosi, fungsi-fungsi perasaan: marah, benci, sayang, takut, cinta, sedih, dan berbagai ekspresi perasaan lainnya.

Kemudian, dari  evolusi jutaan tahun berikutnya,  di atas “otak reptil” dan “otak mamalia”  tumbuhlah  bagian “otak berfikir” pada manusia. “Otak berfikir” berkembang dalam dua sisi: kiri dan kanan. Otak kiri cenderung untuk hal-hal yang analitis, sistematis, dan verbal. Otak kanan untuk hal-hal yang nonverbal, intuitif, dan kreatif.

Kecerdassan intelektual (IQ) biasanya dikaitkan dengan “otak berfikir”. Kecerdasan emosional (EQ) biasanya dikaitkan dengan jaringan limbik pada “otak mamalia”. Sedangkan naluri atau instink berpusat pada “otak reptil”. Dalam hal ini, kita bisa mengaitkan akal dengan IQ dan budi dengan EQ.  (Untuk mendalami hal ini lihat Goleman, 2000; Zohar, 2001).

Lantas, di manakah hatinurani berada?

Sigmun Freud menemukan alam sadar dan bawah sadar. Dialah ilmuwan sekaligus filsuf pertama yang mengungkap fungsi dan cara kerja pikiran bawah sadar manusia. Selain alam sadar dan bawah sadar, Carl G. Jung menemukan alam suprasadar (supra-conscious). Inilah bagian yang berhubungan dengan atau berkomunikasi dengan “sesuatu yang disadari oleh manusia yang bersangkutan lebih kuasa daripada dirinya”, yang membuat dia berhati-hati dalam tindakan dan perbuatannya.  Alam suprasadar inilah yang oleh sebagian ahli disebut nurani (Zohar, 2001)

Mari kita “bedah” otak manusia lebih jauh lagi untuk menemukan lokas SQ – kecerdasan spiritual –  dan karenanya kita tidak lagi bisa menghindari istilah teknis ilmiah.

Adalah bagian otak yang berada di bawah pelipis yang disebut lobus temporal. Bagian ini berkaitan dengan sistem limbik, pusat emosi dan memori otak. Dua bagian terpenting dalam sistem limbik adalah amigdala – struktur yang meyerupai almond di bagian tengah dari area limbik – dan hipokampus, yang berperan penting untuk merekam pengalaman dan memori.

Penelitian Persinger menunjukkan, ketika pusat emosi di dalam otak ini dirangsang, terjadi peningkatan di lobus temporal yang berlangsung beberapa detik saja dapat mempengaruhi emosional yang lama dan kuat sepanjang hidup manusianya.  Pengalaman ini dapat mengubah arah hidup pelakunya. Peran sistem limbik juga menunjukkan arti penting faktor emosi dalam pengalaman spiritual atau religius, dibandingkan dengan faktor keyakinan (belief) yang bisa  hanya bersifat intelektual. Pakar neurobiologi semacam Persinger dan Ramachdran kini menamai bagian lobus temporal yang berkaitan dengan pengalaman religius atau spiritual itu sebagai god spot. Sebagian pakar berpendapat bahwa god spot atau titik Tuhan ini telah berevolusi di dalam otak untuk tujuan tertentu (Zohar, 2001:82).

Jadi, di sinikah hatinurani itu berada?

__________________

Goleman, Daniel (2000). Emotional Intelligence – terjemahan. Jakarta: Gramedia

Zohar, Danah & Ian Marshal (2001). SQ: Spiritual Intelligence – the Ultimate Intelligence – terjemahan. Bandung: Mizan Media Utama

Kembali ke: